Faktor – faktor Penyebab Terjadinya Gejolak
Pergerakan
Reformasi yang dicetuskan pada era 1997-1998 memang telah mengubah hampir
seluruh aspek dari kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia Sistem
Politik, pemerintahan, ekonomi, bahkan pendidikan mengalami perubahan yang
cukup fundamental sejak pergerakan yang mampu mengakhiri eksistensi rezim
Soeharto tersebut menegaskan diri di Indonesia. Dengan perubahan-perubahan
tersebut, mencuatlah harapan dan keinginan dari semua pihak untuk memajukan
(kembali) kehidupan bangsa sebagaimana telah diamanatkan oleh para founding
fathers kita dalam Mukadimah UUD 1945.
Salah satu perubahan yang terjadi adalah pada sistem
pemerintahan. Kita ketahui, sistem pemerintahan Indonesia selalu mengalami
dinamika dan perubahan-perubahan yang kemudian mengubah substansi dari fungsi
pemerintahan itu sendiri. Pada periode 1949-1950, Indonesia memberlakukan
sistem republik federal yang pada perkembangannya hanya menjadi alat bagi pihak
asing untuk menumbuhkan benih-benih separatisme. Kemudian, Indonesia
memberlakukan sistem politik demokrasi liberal dan sistem kabinet parlementer.
Sistem ini terbukti juga tidak berjalan optimal karena adanya friksi dan
pertentangan antarfaksi di parlemen.
Pertentangan yang jelas terlihat pada PNI yang berideologi
marhaen, PSI yang berideologi sosial-demokrat, PKI yang berideologi
sosial-komunis, dan Masyumi yang berideologi Islam. Akan tetapi, keadaan
tersebut semakin diperparah oleh sikap Presiden Soekarno yang mendeklarasikan
diri sebagai dktator melalui dekrit 5 Juli 1959. Alhasil, Demokrasi terpimpin
dengan jargon-jargon seperti Manifesto Politik Indonesia (Manipol), UUD ’45,
Sosialisme, Demokrasi (Usdek), dan Nasionalisme, Agama, Komunisme (Nasakom) berkuasa
sampai G30S/PKI menumbangkan kekuasaan tersebut.
Pada era orde baru, sistem pemerintahan presidensil yang
ketat di satu sisi dapat membawa stabilitas politik di Indonesia. Akan tetapi,
tindakan Soeharto di pertengahan masa jabatannya ternyata tidak jauh berbeda
dengan Soekarno, hanya ingin berkuasa dengan berbagai kepentingan di dalamnya.
Doktrin P4 dan Asas tunggal Pancasila diberlakukan. Hasilnya, HMI harus
mengalami perpecahan menjadi PB HMI yang menerima asas tunggal dan HMI MPO yang
menolak. PII yang merupakan “adik” HMI dengan tegas menolak asas tunggal dan
akhirnya menjadi organisasi bawah tanah.
Penangkapan aktivis terjadi di mana-mana, mulai dari Tanjung
Priok sampai Talangsari Lampung. AM Fatwa, Wakil Ketua MPR-RI sekarang adalah
satu dari aktivis yang ditangkap akibat sikap represif aparat orde baru. Dalam
audiensi pimpinan MPR-RI dengan mahasiswa.
B. Faktor Terjadinya
Reformasi
Banyak hal yang
mendorong timbulnya reformasi pada masa pemerintahan Orde Baru, terutama adanya
ketidakadilan di bidang politik, ekonomi, dan hukum. Pemerintah Orde Baru yang
dipimpin oleh presiden Soeharto selama 32 tahun, ternyata tidak konsisten dan
konsekuen terhadap tekad awal Orde Baru. Tekad awal Orde Baru pada saat
munculnya adalah melaksanakan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Setelah Orde Baru mengendalikan pemerintahan, maka muncul
suatu keinginan untuk terus-menerus mempertahankan kekuasaannya. Hal ini
menimbulkan dampak negatif, yaitu semakin jauh dari tekad awal Orde Baru
tersebut. Penyelewengan yang dilakukan selalu direkayasa sehingga hal tersebut
seolah-olah sah dan benar, walaupun merugikan rakyat.
a. Krisis politik
Demokrasi yang
tidak dilaksanakan dengan semestinya akan menimbulkan permasalahan politik.
Kedaulatan rakyat berada di tangan kelompok tertentu, bahkan lebih banyak
dipegang oleh para penguasa. Pada UUD 1945 pasal 2 telah disebutkan bahwa
kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. Namun
pada dasarnya secara de jure kedaulatan rakyat tersebut dilaksanakan oleh MPR
sebagai wakil-wakil rakyat, tetapi secara de facto anggota MPR sudah diatur dan
direkayasa. Sebagian anggota DPR itu diangkat berdasarkan hubungan kekeluargaan
(nepotisme), misalnya istri, anak, atau kerabat dekat para pejabat tinggi. Oleh
karena itu, keputusan DPR/MPR dapat diatur oleh pihak penguasa.
Suhu politik di tanah air semakin memanas setelah terjadinya
peristiwa kelabu pada tanggal 27 Juli 1996. Peristiwa ini muncul sebagai akibat
terjadinya pertikaian di dalam tubuh PDI. Peristiwa ini terjadi karena adanya
penyerbuan terhadap kantor pusat PDI di jalan Diponegoro oleh kelompok PDI yang
dipimpin Suryadi. Akibat serangan itu, terjadi bentrokan antara PDI pro-megawati
yang masih berkantor di tempat itu dengan kelompok PDI kelompok Suryadi.
Bentrokan yang terjadi menimbulakn kerusuhan itu telah memakan korban, baik
harta maupun jiwa.
Sepanjang tahun 1996, terjadi pertikaian sosial dan politik
dalam kehidupan masyarakat. Pada bulan Oktober 1996, terjadi kerusuhan di
Situbondo (Jawa Timur), bulan Desember 1996 terjadi kerusuhan di Tasikmalaya
(Jawa Barat) dan di Sanggau Ledo yang kemudian meluas ke Singkawang dan
Pontianak (Kalimantan Barat). Selanjutnya terjadi ketegangan politik menjelang
pemilihan umum 1997. Sedangkan menjelang akhir kampanye pemilihan umum tahun
1997, meletus kerusuhan di Banjarmasin yang banyak memakan korban jiwa.
b. Krisis hokum
Pada masa
pemerintahan Orde Baru banyak terjadi ketidakadilan di bidang hukum. Misalnya
pada pasal 24 UUD 1945 dinyatakan bahwa kehakiman memiliki kekuasaan yang
merdeka dan terlepas dari kekuasaan pemerintah. Namun pada kenyataannya
kekuasaan kehakiman berada di bawah kekuasaan eksekutif. Oleh karena itu, lembaga
pengadilan sangat sulit mewujudkan keadilan bagi rakyat, karena hakim-hakim
harus melayani kehendak penguasa. Bahkan hukum sering dijadikan sebagai alat
pembenaran atas tindakan dan kebijakan pemerintah. Selain itu, sering terjadi
rekayasa dalam proses peradilan, apabila peradilan itu menyangkut diri penguasa
dan kerabatnya.
Sejak munculnya gelombang reformasi yang dimotori oleh
kalangan mahasiswa, masalah hukum juga menjadi salah satu tuntutannya. Dimana
masyarakat menghendaki adanya reformasi di bidang hukum, tujuannya agar hukum
didudukkan pada posisi yang sebenarnya.
c. Krisis ekonomi
Krisis moneter yang
melanda negara-negara Asia Tenggara sejak bulan Juli 1996, juga memengaruhi
perkembangan perekonomian Indonesia. Ekonomi Indonesia ternyata belum mampu
untuk menghadapi krisis global tersebut. Krisis ekonomi Indonesia berawal dari
melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Pada tanggal 1
Agustus 1997 nilai tukar rupiah turun dari Rp2.575,00 menjadi Rp2.603,00 per
dolar Amerika Serikat. Pada bulan Desember 11997, ternyata nilai tukar rupiah
terhadap dolar Amerika Serikat mencapai Rp.5.000,00. Bahkan pada bulan Maret
1998 telah mencapai Rp.16.000,00 per dolar Amerika Serikat.
Ketika nilai tukar rupiah terus melemah, maka pertumbuhan
ekonomi Indonesia menjadi 0% dan berakibat pada iklim bisnis yang semakin lesu.
Kondisi moneter Indonesia mengalami keterpurukan, yaitu dengan dilikuidasinya
sejumlah bank pada akhir tahun 1997. Sementara itu, untuk membantu bank-bank
yang bermasalah, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Indonesia
(BPPN) dan mengeluarkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Ternyata
usaha yang dilakukan pemerintah itu tidak dapat memberikan hasil, karena
pinjaman bank-bank bermasalah tersebut semakin bertambah besar dan tidak dapat
dikembalikan begitu saja. Oleh karena itu, pemerintah harus menanggung beban
utang yang sangat besar. Keadaan seperti tiu dapat menurunkan kepercayaan dunia
Internasional terhadap Indonesia. Walaupun pada awal tahun 1998 pemerintah
Indonesia membuat kebijakan uang tetap dan suku bunga bank tinggi, namun krisis
moneter tetap tidak dapat teratasi. Akhirnya pada bulan April 1998, pemerintah
membekukan tujuh buah bank bermasalah.
Dalam perkembangan berikutnya, nilai tukar rupiah terus
melemah dan menembus angka Rp10.000,00 per dolar Amerika Serikat. Kondisi
seperti itu semakin diperparah oleh para spekulan valuta asing baik dari dalam
maupun dari luar negeri, sehingga kondisi ekonomi nasional semakin bertambah
buruk. Oleh karena itu, krisis moneter tidak hanya menimbulkan kesulitan
keuangan negara, tetapi juga telah menghancurkan keuangan nasional.
Memasuki tahun anggaran 1998/1999, krisis moneter telah
memengaruhi aktivitas ekonomi yang lainnya. Perusahaan-perusahaan banyak yang tidak
mampu membayar utang luar negerinya yang telah jatuh tempo. Bahkan banyak
terdapat perusahaan yang mengurangi atau menghentikan sama sekali kegiatannya,
akibatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) meningkat. Angka pengangguran
meningkat, sehingga daya beli dan kualitas hidup masyarakat pun semakin
bertambah rendah. Akibatnya, kesenjangan ekonomi yang telah terjadi sebelumnya
semakin tampak jelas setelah berlangsungnya krisis ekonomi tersebut.
d. Krisis kepercayaan
Krisis multidimensi yang melanda bangsa Indonesia telah
mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Soeharto. Aksi unjuk
rasa damai yang dilakukan oleh kalangan intelektual dan kelompok oposisi pada
bulan Maret 1998 semakin berani menyampaikan tuntutannya. Mereka menuntut
dilakukannya reformasi total, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun hukum.
Bentrokan antara mahasiswa dengan aparat keamanan juga tidak dapat dihindari
sehingga timbul kerugian diantara kedua belah pihak.
No comments:
Post a Comment